Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Percaya Apa yang Aku Lihat  



Percaya Apa yang Aku Lihat  

0"Nico, tunggu!" Maria langsung menahan Nico dan memegang tangannya dengan erat sebelum Nico bisa pergi dari sana.     

Nico menyadari bahwa ada bekas cakaran dan gigitan di tangan dan lengan ibunya.     

"Ibu, apa yang terjadi dengan tanganmu?" Nico langsung memegang tangan ibunya. "Mengapa kamu bisa terluka seperti ini?"     

"Nico, dengarkan ibu. Jangan pergi ke rumah sakit. Anya tidak tahu apa-apa. Kalau kamu memberitahunya, ia akan semakin menderita!" kata Maria.     

"Ibu …" sambil menghela napas panjang, Nico membantu ibunya kembali ke sofa dan meminta seorang pelayan untuk memanggil dokter.     

"Aku tidak mau menemui dokter. Apa yang harus aku katakan kalau mereka menanyakan mengenai lukaku …" Maria tidak pergi ke rumah sakit dan juga tidak memanggil dokter ke rumah.     

"Kalau ibu tidak mempercayai siapa pun, setidaknya ibu percaya pada Tara, kan? Aku akan memintanya datang dan membantu mengobati lukamu," kata Nico.     

Maria hanya mengangguk. Begitu mendapatkan panggilan dari Nico. Tara langsung mengambil kotak obatnya dan pergi menuju ke rumah Keluarga Atmajaya.     

Tara tidak mengatakan satu patah kata pun. Ia hanya mengobati luka itu dengan hati-hati tanpa menanyakannya.     

"Tara, mengapa kamu tidak bertanya bagaimana aku bisa mendapatkan luka ini?" tanya Maria dengan suara pelan.     

"Aku … tidak ingin tahu," Tara sudah bisa menebak apa yang terjadi.     

Walaupun Nico tidak memberitahunya apa pun, Tara bukan orang bodoh yang tidak bisa berpikir. Maria tiba-tiba mendapatkan luka carakan dan gigitan, sementara Anya keguguran. Bagaimana mungkin ia tidak tahu?     

"Tara, apa yang terjadi padaku …"     

"Aku tidak datang ke rumah ini hari ini. Aku tidak melihat apa pun dan tidak mengetahui apa pun," kata Tara dengan tenang.     

Nico menatap ibunya. "Jangan khawatir, Bu. Kita bisa percaya pada Tara."     

"Luka gigitannya cukup parah dan tidak diobati tepat waktu. Sepertinya terjadi sedikit infeksi. Apakah bibi mau pergi ke rumah sakit atau biar aku saja yang mengobatinya?" tanya Tara.     

"Kamu saja," kata Maria.     

Tara mengeluarkan obat suntikan dari tasnya dan langsung memberikannya pada Maria.     

"Banyak beristirahat. Jangan terlalu banyak bekerja, nanti lukanya akan terbuka. Lukanya akan sembuh dalam beberapa saat," kata Tara tanpa ekspresi.     

Tara adalah pribadi yang sangat ceria. Tetapi malam ini, ia terlihat terlalu diam dan tenang.     

Maria tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya. "Tara, bibi dengar kamu pindah dari rumah Nico."     

"Rumah Nico terlalu jauh dari klinikku. Selain itu, kakekku sendirian di rumah dan kesepian. Aku ingin menemaninya," jawab Tara sambil tersenyum tipis.     

"Apakah kamu bertengkar dengan Nico?" tanya Maria dengan khawatir.     

"Nico dan aku sudah lama berteman dan kami memiliki hubungan yang sangat baik. Kami tidak bertengkar."     

Maria mengerutkan keningnya saat mendengar jawaban Tara. "Tara, apakah karena masalah Anya, kamu jadi kecewa dengan keluarga kami? Semua ini adalah perbuatanku, tidak ada hubungannya dengan Nico. Nico benar-benar menyukaimu dan ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama denganmu. Aku juga bisa memastikan bahwa apa yang terjadi pada Anya tidak akan pernah terjadi padamu."     

"Aku hanya mempercayai apa yang aku lihat. Dan aku memiliki penilaianku sendiri. Kalau sudah tidak ada lagi, aku akan pulang. Kakek masih menungguku di rumah," Tara langsung membereskan barang-barangnya.     

Nico mengangkat kepalanya dan menatap Tara dengan tatapan penuh rindu.     

Ia tidak bisa mengatakan apa pun, karena apa yang ia katakan akan melukai Anya dan juga melukai Tara.     

Tara dan Anya memiliki hubungan yang sangat dekat. Nico tidak berani mengambil resiko. Ia takut Tara akan memberitahu yang sebenarnya kepada Anya.     

"Tara, apakah kamu benar-benar ingin berpisah dari Nico?" tanya Maria sekali lagi.     

Tara menutup kotak obatnya. Pergerakkan di tangannya terhenti untuk sejenak dan kemudian ia menjawab dengan suara yang datar, "Iya."     

Seolah tidak mendengar apa yang Tara katakan, Nico mengambil inisiatif untuk membantu Tara membawa kotak obatnya. "Aku akan mengantarmu pulang."     

Tara tidak menolak tawaran Nico. Begitu mereka keluar dari pintu, Tara menatap ke arahnya. "Kamu tahu mengapa keluargamu melakukan ini, kan?"     

"Aku tahu, tetapi aku tidak bisa mengatakannya. Keluargaku melakukan ini untuk bibi. Setelah bibi pergi, aku akan menceritakan semuanya kepadamu," jawab Nico dengan tenang.     

"Jangan bilang pamanmu melakukan semua ini untuk membantu Anya mencapai cita-citanya menjadi parfumeur. Ia bisa melakukannya tanpa bercerai dan membunuh anaknya!" kata-kata Tara terdengar sangat tajam.     

"Tara, aku berjanji padamu aku akan menceritakan semuanya setelah bibi pergi. Tetapi sekarang, aku benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun. Kalau tidak, semuanya akan sia-sia," kata Nico. "Kamu mempercayai apa yang kamu lihat dan kamu memiliki penilaianmu sendiri. Apakah kamu percaya bahwa ibuku orang sekejam itu?" tanya Nico dengan tenang.     

"Aku … Ibumu adalah orang yang sangat baik. Tetapi ia telah membunuh anak Anya. Ini benar-benar kejam," kata Tara dengan sedih.     

"Hati ibuku juga hancur saat ia melakukannya. Tidak pernah sekali pun ibuku melukai siapa pun dalam hidupnya. Ia bahkan mau membesarkan anak haram, yang ayahku bawa dari luar, seperti darah dagingnya sendiri. Ibuku adalah orang yang baik," Nico berusaha untuk membela ibunya.     

Memang apa yang ibunya lakukan kali ini tidak benar. Tetapi ia melakukannya dengan terpaksa. Demi kebaikan semuanya …     

"Aku akan menunggumu menceritakan kebenarannya. Aku ingin tahu alasan apa yang bisa membuatmu ikut serta dalam hal sekejam ini," setelah meninggalkan rumah Keluarga Atmajaya, Tara kembali ke rumah sakit lagi.     

Ia ingin bertemu dengan Anya. Ia ingin melihat kondisi sahabatnya.     

Sebelumnya, Aiden memang menghentikannya. Tetapi ia tidak mau menyerah dan mencoba kembali peruntungannya.     

Ketika tiba di depan pintu kamar Anya, Tara melihat bahwa pengawal Aiden masih ada, tetapi batang hidung Aiden sama sekali tidak terlihat.     

"Nona Tara, silahkan masuk," kali ini pengawal itu tidak menghentikannya.     

"Apakah Aiden memperbolehkan aku masuk?" tanya Tara dengan terkejut.     

"Tuan Aiden memperbolehkan Anda untuk menemani Nyonya saat ia berada di rumah sakit. Ini untuk Anda," kata pengawal tersebut sambil memberikan sebuah amplop.     

Tara tidak mengambil amplop itu dan hanya memandangnya dengan tatapan kosong. "Katakan pada tuanmu. Aku datang untuk menemani sahabatku, bukan untuk uang." Setelah itu, ia melewati pengawal tersebut dan memasuki kamar Anya.     

Anya berada sendirian di dalam kamar. Ia tidak berbaring di tempat tidurnya, tetapi duduk di sofa dekat jendela, memandang ke arah luar dengan tatapan nanar.     

Tubuh Anya terlihat kurus dan lemah. Pakaian rumah sakit yang kedodoran membuatnya terlihat seperti anak kecil yang mencuri baju orang dewasa.     

"Anya, apa yang kamu lihat?" Tara menghampirinya dan berpura-pura tenang, meski sebenarnya ia merasa sangat panik. "Aku sangat sibuk hari ini dan belum makan."     

Anya seperti tersadar begitu Tara mengajaknya berbicara. Ia tetap memandang ke arah jendela sambil berkata, "Ada sup di termos dan makanan di meja. Kamu bisa memakannya. Kalau mau, hangatkan sendiri di microwave."     

"Apakah kamu mau menemaniku?" Tara mengambil makanan di atas meja dan berniat menghangatkannya untuk Anya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.